Belajar pada si Tukang Burger:
Kunci Sukses Saya Cuma Fokus di Satu Bidang
"Bagi saya, kesuksesan itu seperti pintu yang bisa dilewati siapa saja, asal orang itu punya komitmen terhadap usahanya."
Tahukah Anda "Edam Burger"? Bila Anda
kebetulan berbelanja di Alfamart atau Indomart, kemungkinan besar akan
menemui gerai burger ini. Di sebagian besar Alfamart dan Indomart,
memang selalu ada Edam Burger, khususnya di Jabodetabek. Edam ada di
mana-mana dan menjelma menjadi jaringan burger paling luas di Indonesia.
Edam bahkan bisa disebut sebagai ikon burger kelas menengah
bawah di Indonesia. Bayangkan, outlet-nya kini sudah menyentuh angka 3.000. Wirausahawan sukses yang melahirkan Edam Burger itu tak lain adalah Made Ngurah Bagiana, pria kelahiran Bali, 1956, yang memulai bisnis burger secara tidak sengaja pada 1990.
Ada sejumlah pikiran dan penggalan pengalaman Made Ngurah Bagiana yang layak dijadikan sebagai inspirasi sukses. Di antaranya adalah kemauannya untuk selalu berinovasi dan berani fokus pada satu bidang. Rupanya, itulah kunci sukses Made bersama Edam Burger. Berikut petikan hasil wawancara reporter Pembelajar.com, Dodi Mawardi, yang versi pendeknya khusus dimuat untuk INFO APLI.
Setiap hari selalu ada permintaan. Saya juga ke sana ke mari berkeliling.
sumber: apli XXXVII juli-september 2007
bawah di Indonesia. Bayangkan, outlet-nya kini sudah menyentuh angka 3.000. Wirausahawan sukses yang melahirkan Edam Burger itu tak lain adalah Made Ngurah Bagiana, pria kelahiran Bali, 1956, yang memulai bisnis burger secara tidak sengaja pada 1990.
Ada sejumlah pikiran dan penggalan pengalaman Made Ngurah Bagiana yang layak dijadikan sebagai inspirasi sukses. Di antaranya adalah kemauannya untuk selalu berinovasi dan berani fokus pada satu bidang. Rupanya, itulah kunci sukses Made bersama Edam Burger. Berikut petikan hasil wawancara reporter Pembelajar.com, Dodi Mawardi, yang versi pendeknya khusus dimuat untuk INFO APLI.
Bagaimana ceritanya bisa berbisnis burger?
Sepertinya tak ada usaha yang mudah saat itu.
Semuanya dimulai dengan modal apa adanya. Saya teringat, waktu itu
keluarga saya kesulitan ekonomi. Untuk makan saja sepertinya sudah
pas-pasan. Tanpa sengaja, saya melihat orang berjualan burger di depan
rumah saya di sekitar Perumnas Klender. Saya pikir, tak ada salahnya
mencoba. Saya nekad meminjam uang ke bank, tapi tak juga diluluskan.
Akhirnya, saya kesal dan malah meminjam Rp 1,5 juta ke teman untuk
membeli dua buah gerobak dan kompor. Belakangan, giliran bank-bank itu
yang mengejar saya ha ha ha.
Lalu kenapa namanya Edam?
Awalnya bukan Edam. Dulu saya labeli Lovina, sesuai nama pantai di
Bali yang sangat indah. Tapi, kemudian berubah jadi Edam. Itu nama
pemberian dari Bob Sadino. Saya bernama Made, istri saya pun bernama Made. Oleh Pak Bob, diberi nama “Edam” yang artinya, ya, Made kalau dibaca dari kanan ha ha ha.
Bagaimana Edam bisa tersebar di mana-mana?
Wah ceritanya panjang. Banyak suka dan duka yang saya alami. Di
awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang
menghampiri. Padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin
berpikir, burger itu pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya
mematok harga Rp 1.700 per buah. Baru setelah tahu murah, pembeli
mulai ketagihan. Dalam sehari bisa laku lebih dari 20 buah. Tahun
2000-an lah yang menjadi titik awal perubahan Edam. Ya sejak kenal
dengan Bob Sadino lalu bekerja sama dengan Bogasari, Edam makin cepat
berkembang. Saya pun mengajak banyak orang untuk bergabung sebagai
mitra.
Kok bisa harga Edam lebih murah dibanding burger yang lain?
Burger ini kan makanan dari barat dan diposisikan di kelas atas. Dia
tidak memposisikan di menengah dan ke bawah. Setelah saya coba
ternyata cost-nya ini murah. Ini strategi pemasaran yang dianggap
salah, tapi dibenarkan masyarakat. Bahkan di perkampungan di gang-gang
itu Edam bisa hidup. Saya bikin roti cuma 500 perak, daging 700 perak.
Beserta bumbu dan sayurnya cuma 2.000 perak. Kita mau cari untung 1.000
perak saja cuma 3.000. Jadi, mengapa dijual 10.000 perak? Jadi, saya
memposisikan ini buat masyarakat di bawah.
Anda menggunakan konsep yang mirip waralaba, sebelum konsep ini marak di Indonesia. Belajar dari mana?
Wah, awalnya saya ndak tahu istilah itu. Saya hanya jalan saja,
lakukan saja. Ndak pakai mikir-mikir yang panjang. Waktu itu untuk
mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan
burger di depan rumah atau sekolah.
Anda sering menyebut waralaba ini sebagai franchise Pancasila. Apa maksudnya?
Saya hanya berikan keadilan bagi yang punya modal besar, modal
kecil, bahkan tidak punya modal. Jadi, saya sudah menjalankan sila
kelima. Franchise Pancasila ini tidak ada di mana pun di dunia ini.
Kalau yang namanya franchise itu kan aturannya baku. Misalnya Rp10 juta
dan ada orang tidak punya uang segitu, ya tidak bisa. Kalau di sini
ada yang mulai dari paket seharga Rp15 ribu. Kalau tidak punya yang dua
juta, maka bisa ambil counternya saja. Kompor gas pakai punya sendiri.
Nah, di sinilah kekuatan Edam, hingga tiap kabupaten minta.
Anda menyebut Edam Burger sebagai burger dengan cita rasa Indonesia. Seperti apa sih kongkritnya?
Ya, sulit menjelaskannya, harus mencoba. Tapi, sebagai contoh saya
punya rasa burger di tiap wilayah berbeda. Saya bikin burger di Yogya
agak manis. Kalau di Padang agak pedas. Jadi, ikuti selera penduduk setempat. Itu inovasi saya.
Jadi sekarang berapa jumlah gerai Edam?
Wah saya sendiri ndak tahu persis. Nggak sempat ngitung. Tapi hampir di semua kabupaten ada Edam.Setiap hari selalu ada permintaan. Saya juga ke sana ke mari berkeliling.
Berkali-kali Edam mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak. Apa maknanya buat Anda?
Jujur saja, saya tak pernah memimpikan bakal punya usaha sebesar
ini. Dulu, ketika memulai, saya hanya memodalkan dua gerobak roti
burger dengan modal apa adanya. Karena saya ulet, akhirnya usaha saya
selama 17 tahun ini membuahkan hasil. Saya merasa ini sebagai karunia
Tuhan yang patut saya syukuri.
Apa kunci sukses Anda?
Kuncinya tak banyak. Cukup fokus pada satu bidang, yaitu menjual roti burger berkualitas tinggi dengan harga terjangkau, ulet meluaskan pangsa pasar, dan menjaga hubungan dengan para pelanggan. Saya yakin dengan filosofi menabur dan menuai. Siapa yang menabur kebaikan, pasti berbuah kebaikan juga. Saya juga tidak pernah malu dan gengsi mengerjakan
apa pun asal halal dan terhormat. Bagi saya, kesuksesan itu seperti
pintu yang bisa dilewati siapa saja, asal orang itu punya komitmen
terhadap usahanya.
Edam sudah besar dan berbiak kemana-mana. Anda masih punya impian apalagi?
Saya ndak tahu mau apa nanti. Yang saya dapat ini juga tidak saya
rencanakan. Edam ini kan bergerak di bidang makanan. Dan, makanan itu
kan tidak pernah berhenti. Di situ kan banyak potensi. Potensinya itu
orang. Kalau saya punya usaha roti, maka potensinya adalah orang yang
memakannya. Ke depannya saya akan mengurusi orang makan. Entah apa atau
apa itu akan mengalir dan nanti seleksi alam. Harapan saya, di sini kan
saya usaha burger. Dan ada roti, sayuran, dan daging. Di sini ada
komposisi mineral karbohidrat dan protein. Ini agar orang-orang itu
mengonsumsi makanan yang berprotein, mineral, dan karbohidrat. Jangan
sampai kayak di Bogor banyak sayur, tapi orang Bogor kurang makan sayur.
Ke depan saya ingin paling tidak orang Indonesia makan burger sebulan
sekali lah. Tidak usah seminggu sekali.[dw]sumber: apli XXXVII juli-september 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar